KIBLAT.NET – Membahas soal melaksanakan ibadah shalat di dalam bangunan Kakbah, pertama kita harus menentukan shalat apa yang sedang dikerjakan, apakah shalat fardhu (wajib) atau nafilah (sunnah).
Mengenai shalat fardhu, pendapat para ahlul ilmi baik salaf maupun khalaf setidaknyaterbagi menjadi empat pendapat. Pendapat pertama menyatakan bahwa shalat fardhu di dalam Kakbah hukumnya sah. Pendapat ini dikemukakan para pengikut madzhab Syafii, madzhab Hanafi, sebagian pengikut Maliki, dan juga sebagian pengikut Dzahiri. Beberapa ulama merajihkan pendapat pertama ini, di antaranya adalah Syaikh Abdurrahman bin Sa’di rahimahullah, dan muridnya Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, dan juga Syaikh Abdul Aziz bin Baz. Dan sebagian pengusung pendapat ini mensyaratkan adanya bagian spesifik dari Kakbah yang dijadikan sebagai arah kiblat.
Adapun dalil yang menjadi landasan pendapat ini di antaranya adalah surat Al-Baqarah ayat 125,
وَعَهِدْنَا إِلَىٰ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ أَنْ طَهِّرَا بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ وَالْعَاكِفِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ
Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail: “Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang i’tikaf, yang ruku’ dan yang sujud.”
Rangkaian kata thaifin, ‘akifin, dan rukka’is sujud bermakna orang-orang yang mengerjakan shalat secara umum, baik fardhu maupun nafilah.
Dan juga hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dari Ibnu Umar radhiyallahuanhu,
أن النبي صلى الله عليه وسلم قدم مكة فدعا عثمان بن طلحة ففتح الباب, فدخل النبي صلى الله عليه وسلم وبلال وأسامة بن زيد وعثمان بن طلحة, ثم أغلق الباب, فلبث فيه ساعة ثم خرجوا, قال ابن عمر: فبدرت فسألت بلالا, فقال: صلى فيه, فقلت: في اي؟ قال: بين الاسطوانتين.
Bahwasanya Nabi shallallahu alaihi wasallam datang ke Makkah lalu Beliau memanggil Utsman bin Thalhah, maka dia pun membuka pintu (kakbah), lalu Rasulullah masuk bersama Bilal, Usamah bin Zaid, dan Utsman bin Thalhah, kemudian dia menutup pintu. Lalu mereka menghabiskan waktu di dalam (kakbah) selama satu jam lalu keluar. Ibnu Umar berkata: “Maka aku bergegas dan bertanya kepada Bilal.” Maka Bilal menjawab: “(Nabi) shalat di dalam.” Maka aku bertanya: “Di bagian mana?” Bilal pun menjawab: “Di antara dua pilar (kakbah).”
Dan juga hadits yang diriwayatkan melalui shahabat Usamah bin Zaid,
أن النبي صلى الله عليه وسلم في الكعبة
Bahwasanya Nabi shallallahu alaihi wasallam shalat di dalam Kakbah
Lalu pendapat yang kedua, bahwa shalat fardhu di dalam Kakbah sah, namun hukumnya makruh.
Dan pendapat ketiga, menyatakan bahwa shalat fardhu di dalam Kakbah sah hanya ketika seseorang yang mengerjakannya tidak tahu perihal larangan shalat di dalamnya.
Adapun pendapat keempat, merupakan perkataan Ibnu Abbas rhadiyallahuanhuma yang menyatakan bahwa shalat fardhu di dalam Kakbah hukumnya tidak sah. Pendapat ini didukung oleh Imam Atha’ bin Abi Rabah, Imam Malik, Ibnu Jarir Ath Thabari, dan sebagian pengikut Dzahiri. Pendapat ini juga masyhur di kalangan madzhab Maliki dan Hanbali, dan pendapat ini juga dirajihkan oleh Ibnu Taimiyyah.
Adapun landasan dalil dari pendapat ini adalah surat Al-Baqarah ayat 150,
وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ
Dan dimana saja kamu (sekalian) berada, maka palingkanlah wajahmu ke arahnya (Kakbah)
Berdasarkan ayat tersebut, para pengusung pendapat keempat memandang bahwa ketika seseorang berada di dalam Kakbah maka dia tidak sedang menghadap ke arah Kakbah, melainkan hanya menghadap ke sebagian sisi Kakbah dan membelakangi sebagian sisi yang lain.
Namun pendapat ini dibantah oleh Imam At Thahawi, dalam Syarhu Ma’’anil Atsar beliau menjelaskan bahwa tidak mungkin seseorang menghadap ke seluruh sisi Kakbah ketika shalat, maka tidak mempengaruhi shalatnya meskipun ada beberapa sisi Kakbah yang ditinggalkannya.
Selain ayat di atas, pengusung pendapat keempat juga berdalil dengan hadits yang bersumber dari Ibnu Umar,
أن النبي صلى الله عليه وسلم نهى أن يصلي في سبع مواطن: المزبلة، والمجزرة، والمقبرة، وقارعة الطريق، والحمام، ومعاطن الإبل، وفوق ظهر بيت الله تعالى
Sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melarang menunaikan shalat tujuh tempat; tempat pembuangan sampah, tempat penyembelihan (hewan), kuburan, di tengah-tengah jalan, di kamar mandi, di kandang unta, dan di atas Kakbah.
Mereka berpendapat bahwa di dalam Kakbah termasuk dalam makna “di atas Kakbah”. Sehingga peringatan Rasulullah dalam hadits di atas juga berlaku untuk shalat di dalam Kakbah. Namun para ahli hadits menyatakan bahwa hadits di atas berderajat dhaif sehingga tidak dapat dijadikan dalil.
Prof. Dr. Abdullah bin Abdul Aziz Al Jibrin dalam Hukm Shalah Dakhilal Ka’bah Musyarrofah menyatakan bahwa sejatinya menyamakan makna “di dalam Kakbah” dan “di atas Kakbah” tidaklah tepat. Karena ketika seseorang berada di atas Kakbah, maka dia tidak menghadap kemanapun dari sisi Kakbah, lain dengan ketika berada di dalam Kakbah.
Adapun shalat nafilah, setidaknya terdapat tiga pendapat. Pendapat pertama, menyatakan bahwa disyariatkan mengerjakan shalat sunnah ketika seseorang berada di dalam Kakbah. Pendapat ini dikemukakan oleh Aisyah radhiyallahuanha, Ibnu Umar, Ibnu Zubair, dan Muawiyah radhiyallahuanhum. Landasan dalil dari pendapat ini sama dengan landasan dalil mengenai bolehnya shalat fardhu di dalam Kakbah yang telah kita sebutkan di atas.
Lalu pendapat kedua, menyatakan bahwa disyariatkan mengerjakan shalat sunnah muthlaqah atau yang tidak terikat oleh waktu tertentu, keadaan tertentu, dan rakaat tertentu. Adapun shalat sunnah muakkadah seperti shalat sunnah rawatib, shaat witir, dan dua rakaat ketika thawaf maka tidak disyariatkan untuk dilaksanakan di dalam Kakbah. Pendapat ini masyhur di kalangan madzhab Maliki.
Sedang pendapat ketiga, melarang shalat sunnah di dalam Kakbah secara mutlak. Ini merupakan pendapat Ibnu Abbas radhiyallahuanhuma. Pendapat ini didukung oleh Imam Atha’ bin Abi Rabah, Imam Malik, Imam Ahmad, Ibnu Jarir Ath Thabari, dan sebagian pengikut Dzahiri. Ayat yang menjadi landasan pendapat ini adalah surat Al Baqarah ayat 150 sebagaimana landasan pendapat yang melarang shalat fardhu di dalam Kakbah.
Menanggapi keragaman pendapat mengenai hukum shalat di dalam Kakbah tersebut, Prof. Dr. Abdullah bin Abdul Aziz Al Jibrin dalam Hukm Shalah Dakhilal Ka’bah Musyarrofah lebih condong kepada pendapat mengenai bolehnya shalat baik fardhu maupun nafilah di dalam Kakbah karena dalil-dalil yang menjadi landasannya cukup kuat dan juga shohih.
Adapun Syaikh Ibnu Baz meskipun menyatakan bahwa shalat fardhu di dalam Kakbah adalah sah, namun beliau menganjurkan sebaiknya melaksanakan shalat fardhu di luar bangunan Kakbah, sehingga bisa shalat berjamaaah bersama banyak orang, tidak shalat seorang diri.
Namun di luar itu semua, ada satu hal lagi yang terpenting. Yaitu tentang niat, di manapun kita shalat, shalat kita haruslah ditujukan untuk mencari keridhaan Allah semata, bukan untuk dipertonotonkan di hadapan manusia, bukan untuk mengejar ambisi-ambisi duniawi.
Penulis: Rusydan Abdul Hadi