KIBLAT.NET, Jakarta – Ketua Program Pascasarjana FISIP UI, Chusnul Mar’iyah, Ph.D melihat adanya inkonsistensi cara pandang politik Presiden Joko Widodo dan Megawati. Pasalnya kedua tokoh politik tersebut sering menyuarakan pemisahan agama dan negara.
Chusnul menjelaskan, cara berpikir memisahkan antara negara dan agama berasal dari Barat, di mana mereka menganggap kelompok agama korup. Sementara cara pandang demikian bertolak belakang dengan realita politik di Indonesia.
“Indonesia itu adalah the most population muslim country in the world, negara yang jumlah muslimnya terbesar di dunia. Nah, apa yang terjadi dalam pemikiran politik Islam? Itu tidak ada pemikiran yang memisahkan negara dan politik,” ujar Chusnul kepada Kiblat.net di sela-sela acara The 7th Wolrd Peace Forum di Hotel Sultan, Jakarta pada Rabu (15/08/2018).
Dalam perpolitikan Indonesia, Chusnul mengungkapkan bahwa ulama sebagai tokoh agama adalah bagian dari warga negara. Di mana, ulama juga memiliki hak untuk terlibat dan berpatisipasi dalam perpolitikan, sama seperti warga lainnya.
“Jadi ya biasa saja, karena ulama itu adalah bagian dari warga negara yang punya hak untuk terlibat, berpartisipasi dalam kehidupan politik. Jadi biasa-biasa saja,” sambungnya.
Sementara itu, terkait dipilihnya KH. Ma’ruf Amin sebagai cawapres Joko Widodo, mantan komisaris KPU itu juga melihat adanya inkonsistensi. Pasalnya, Jokowi dan Megawati sering menyuarakan pemisahan agama dan negara dalam kehidupan politik.
“Joko Widodo kan mengatakan, politik harus dipisahkan dari agama. Megawati mengatakan tidak butuh suara Islam. Lalu bagaimana? Tanpa suara Islam tidak ada yang bisa menang,” ungkapnya.
“Tapi giliran sudah dekat dengan pemilu yang dilakukan justru seperti sekarang mengambil presiden dari unsur ketua MUI, justru posisi top di dalam Nahdlatul Ulama juga, Kiai Ma’ruf Amin. Ini kan sebetulnya ketidakkonsistenan cara pandang rezim yang berkuasa di dalam melihat persoalan pemisahan agama dan politik,” pungkasnya.
Reporter: Syafei Irman
Editor: M. Rudy