KIBLAT.NET, Bukittinggi – IAIN Bukittinggi akhirnya angkat suara terkait larangan bercadar bagi mahasiswa dan dosen perempuan yang diberlakukan di lingkungan kampus. Rektor Institut Agama Islam Negeri Kota Bukittinggi, Ridha Ahida mengatakan bahwa aturan tersebut berdasarkan otonomi kampus.
Dalam konferensi pers di kampus IAIN Bukittinggi pada Jumat (16/03/2018), Ridha bersikukuh bahwa IAIN Bukittinggi akan menjalankan kode etik tersebut. Menurutnya, kode etika berbusana merupakan kesepakatan dari mayoritas akademika kampus.
Selain itu, ia menerangkan bahwa setiap perguruan tinggi memiliki otonomi atau hak mengelola lembaga pendidikannya. Hal itu diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2012 dan Peraturan Pemerintah No 4 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Perguruan Tinggi.
“Maka perguruan tinggi memiliki otonomi untuk mengelola sendiri lembaganya sebagai pusat penyelenggaraan Tri Dharma perguruan tinggi. Sekalipun dengan hal itu, maka IAIN Bukittinggi memiliki statuta, pedoman akademik dan kode etik dosen dan mahasiswa,” ungkap Ridha.
Dalam kode etik berbusana, Ridha menjelaskan bahwa aturan yang diberlakukan di IAIN Bukittinggi harus berpakaian formal dan sesuai dengan syariat Islam. Sedangkan, cadar tidak termasuk pakaian yang formal bagi IAIN Bukittinggi.
Sementara itu, terkait dinonaktifkannya salah satu pengajar bernama Dr. Hayati Syafri, S.S,M.Pd, karena bercadar, Ridha menyebutkan bahwa pihak kampus sudah memberikan surat panggilan kepadanya. Hayati teguh pada pendiriannya bahwa cadar merupakan salah satu sunnah dalam agama Islam yang ia jalani.
Dipanggil Dewan Kehormatan
Proses pemanggilan pun berlanjut, pada Senin 15 Februari 2018 Dewan Kehormatan memutuskan untuk menghadirkan Hayati. Saat itu, pihak kampus kembali menuntut agar Hayati berpakaian formal di dalam kampus dengan melepaskan cadarnya.
“Dewan Kehormatan berpendapat sebagai pendidik, yang bersangkutan harus memakai pakaian formal dan sesuai dengan syariat Islam. Pakaian yang bersangkutan tidak termasuk pakaian formal di IAIN Bukittinggi,” sambung Ridha.
Hayati yang terus didesak oleh pihak kampus, akhirnya meminta waktu untuk beristikharah. Pihak kampus pun memberikan kesempatan kepada Hayati dengan membebaskan tugas. Teguhnya Hayati menjalankan prinsipnya itu berujung pada sanksi yang ditetapkan kampus. Hayati sejak Februari dinonaktifkan dari seluruh kegiatan akademik di IAIN Bukittinggi.
“Hingga saat ini, kami masih tetap menghimbau kepada dosen dan mahasiswa agar kita tetap komit terhadap kode etik dosen dan mahasiswa yang merupakan kesepakatan dari seluruh mayoritas civitas akademika yang disusun secara bersama yang tertuang dalam kode etik yang berada di IAIN Bukittinggi,” tutupnya
Proses Istikharah
Menjelang dipanggil oleh Dewan Kehormatan, Hayati mengaku sempat dipanggil Ridha Ahida selaku Rektor IAIN Bukittinggi. Saat itu, Hayati meminta agar cadar diperbolehkan di lingkungan kampus. Namun proses diskusi berlangsung alot. Pimpinan kampus tetap mendesak agar Hayati melepas cadar.
“Saat itu, ibu rektor mengatakan agar dipertimbangkan lagi. Lalu saya mengatakan, kalau tidak boleh memakai cadar izinkanlah kami memakai masker. Ternyata memakai masker itu tidak boleh, kata ibu rektor itu. Ya akhirnya saya minta waktu untuk istikharah,” ungkap Hayati saat dihubungi Kiblat.net pada Selasa (13/03/2018).
Setelah shalat istikharah berkali-kali dan meminta keteguhan hati, Hayati tetap pada pilihannya. Sehingga ia memutuskan untuk menemui Dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan.
“Saya sampaikan,’mohon maaf pak, sampai saat ini belum ada keputusan untuk membuka cadar.’ Pada saat itu dibilang bahwa saya dinonaktifkan dulu, begitu. Karena belum bisa juga memutuskan untuk membuka akhirnya beliau memutuskan untuk menonaktifkan. Ketika saya tanyakan surat keputusannya mana. Kata bapak tidak usah pakai surat dulu, begitu katanya. Hanya disampaikan saja,” ungkap Hayati.
Reporter: Syafi’i Iskandar
Editor: Jon Muhammad
Kementerian agama harus tegas dg memecat rektornya, karena ini prilaku yg bertentangan dg UUD 1945 pasal 29 ayat 2 menjamin kebebasan beragama. Ini adalah prilaku arogan dan anti kebhinekaan.
dari dulu juga ngak ada yang mempermasalahkan cadar di Indonesia, aneh saja hari gini ada yang mempermasalahkannya dengan alasan yang dibuat-buat, supaya kelihatan logis, otoritas kampuslah, memang kampus di Indonesia ngak ada standarnya