KIBLAT.NET – Hampir tujuh tahun sudah konflik berkobar di Suriah. Hari ini Suriah telah bersinonim menjadi deretan angka-angka kematian, kelaparan, serta kehilangan tempat tinggal. Hari ini tidak ada yang tergambar dalam benak kita selain potret-potret kekerasan serta berbagai macam bentuk pelanggaran hak asasi manusia ketika mendengar kata Suriah.
Terkadang saya bertanya, apa lagi yang harus kita tulis tentang Suriah. Dari tahun ke tahun narasi dan kalimat yang kita tuliskan tetap sama, kecuali penambahan digit jumlah korban dan sedikit cetak tebal sebagai penegasan kata-kata spesifik; pembantaian, balita terbunuh, anak-anak kelaparan, tak berperikemanusiaan, dan rezim biadab.
Dengan alasan seperti itu, saya pun memilih untuk tidak membaca dan menulis lagi tentang Suriah. Saya merasa tak ada lagi ruang untuk Suriah di kepala saya. Cukup sudah, kini saatnya mengambil kayu dan gergaji, membuat kotak kecil dengan lubang kecil di atas, mengingat istri saya yang sering kali mengabaikan recehan-recehan kembalian sepulang belanja, maka saya akan memungutinya dan memasukkannya ke dalam kotak tersebut. Setelah kotak tersebut penuh, saya akan membawanya ke kantor NGO yang menyalurkan bantuan untuk warga Suriah.
Saya terkadang pesimis melihat kondisi Suriah. Semua benar-benar kacau, baru-baru ini terdengar kabar menyedihkan dari Ghouta Timur, sebuah distrik besar di pinggiran Damaskus. The Guardian merilis bahwa lebih dari empat ratus ribu warga Ghouta Timur terisolasi selama lima tahun dan dua ratus orang dikabarkan meninggal dalam empat puluh delapan jam terakhir (20/02/18). Kondisi ini diperparah pengeboman tanpa henti via darat dan udara oleh pasukan rezim Assad, dan mirisnya lima rumah sakit yang tersedia tak lagi beroperasi.
Dalam sebuah video pendek yang beredar di media sosial, tampak seorang pria menggendong balita dengan sangat hati-hati melewati reruntuhan bangunan. Kondisi yang dilematis, di sisi lain dia harus segera menyelamatkan diri, namun di sisi lain membawa lari balita bukanlah perkara mudah. Belum lagi gambar-gambar yang viral, seorang bayi kecil ditemukan tewas dalam keadaan terbakar hangus, seorang anak perempuan nafasnya sesak oleh mesiu.
Yang membuat saya pesimis adalah ketika dunia internasional ternyata membisu. Kalaupun bersuara, suaranya terlampau parau dan tak tertangkap gendang telinga. Bassar Assad memang terlampau sakti, hingga badan sekelas PBB hanya mampu mengecam dan negara sehebat Jerman “tak mampu” menghadirkan tekanan berarti.
Jika institusi sehebat mereka saja tak mampu membereskan kekacauan ini, lantas saya yang bukan siapa-siapa ini bisa apa. Rasanya aksi-aksi heroik pasukan white helmet terlihat seperti kesia-siaan, mereka mengobati luka tanpa mampu mencegah penyebab luka. Begitupun para relawan kemanusiaan, mereka membantu para pengungsi tanpa tahu kapan gelombang pengungsi akan berakhir. Mereka mengupayakan perbaikan tanpa tahu kapan perbaikan itu akan terwujud, bahkan memprediksi ataupun menargetkan tidak mampu, istilah apalagi yang pantas disematkan kepada perbuatan semacam itu selain “kesia-siaan”.
Namun pada akhirnya saya harus mengutuk pesimisme saya sendiri. Karena pesimisme seharusnya tidak boleh tertulis di kamus seorang muslim. Karena Allah SWT tidak pernah menuntut hasil, Dia menilai dan menghargai usaha-usaha kita meskipun dalam kacamata manusia disebut gagal. Dan pesimisme juga bisa menjerumuskan kita dalam pengingkaran terhadap salah satu sifat-Nya; Al Qaadir. Ya, separah apapun keadaannya tak boleh merusak keyakinan kita bahwa mudah bagi Allah SWT untuk membolak-balikkan segalanya.
Bukankah Rasulullah SAW pernah diingatkan, “Engkau tidak akan mampu memberi hidayah kepada orang yang kamu sayangi.” Ya, Rasulullah SAW hanya perlu menjalankan perannya sebagai penyampai kebenaran, soal siapa yang menerima dan siapa yang menolak itu urusan Allah SWT.
Dalam surat Al Anfaal ayat ke 17 Allah SWT sudah menyampaikan, “bukan kalian yang membunuh mereka, tetapi Allah-lah yang membunuh mereka, dan bukanlah kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar.”
Ini semua menjadi isyarat bahwa kita hanya perlu berbuat sesuai perintah-Nya tanpa harus galau dan memusingkan hasil akhirnya. Saya pun teringat kisah Nuh AS yang berdakwah selama lima ratus tahun, hanya 70 orang yang menyambut dakwahnya. Jika dirata-rata berarti setiap tujuh tahun pengikutnya baru bertambah seorang.
Bukankah hal itu membuat semua upaya perbaikan kita terlihat seperti butiran-butiran debu, bukankah hal itu membuat kita berpikir bahwa kita masih belum “berhak” untuk pesimis. Jadi jangan pernah sekalipun berpikir bahwa harapan itu tidak mungkin terwujud, sekalipun di tempat sekacau Ghouta Timur.
Dan terakhir, mengapa saya memutuskan untuk membaca dan menulis lagi tentang Suriah. Karena saya menyadari bahwa kualitas gerak motorik kita selalu berbanding lurus dengan kualitas rangsangan sensorik yang kita terima. Kita selalu bergerak berdasar apa yang kita lihat dan kita dengar, semakin banyak kita melihat dan mendengar maka gerak kita pun akan semakin arif dan bijak.
Penulis: Rusydan Abdul Hadi